Sejarah Keluarga Bartels yang Menemukan Elang Jawa
4 min readSejarah Keluarga Bartels yang Menemukan Elang Jawa – Elang Jawa atau nama latinnya Nisaetus bartelsi merupakan salah satu jenis burung endemik Pulau Jawa yang keberadaannya sudah langka. Hewan ini pertama kali ditemukan oleh keluarga Bartels Jerman. Sejarah keluarga Bartels diceritakan di website resmi Gunung Gede Pangrango.
Sejarah Keluarga Bartels yang Menemukan Elang Jawa
dodingtonfamily – Sejarah menceritakan bahwa selain menemukan elang jawa, keluarga Bartels juga menemukan 21 spesies, termasuk burung, kelelawar, dan tikus. Tujuh di antaranya masih masuk Daftar Merah IUCN (Daftar Merah Spesies Terancam Punah)
Kisah lengkap ini tak lepas dari museum dan rumah keluarga Bartels di Pasir Datar, Sukabumi yang kini menjadi Pusat Konservasi Elang Jawa Cimungkad. Kecamatan Kadudamiti, Kabupaten Sukabumi. Tempat ini masih dalam perlindungan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BTNGGP).
Max Eduard Gottlieb Bartels, pria ini lahir pada tanggal 24 Januari 1871 dan meninggal pada tanggal 7 April 1936. Ia adalah seorang ahli burung yang lahir di Bielefeld, Jerman dari ayah seorang arsitek.
Ia menjadi anggota Perkumpulan Ornitologi Jerman (Deutsche Ornithologische Gesellschaft) di Bonn sejak tahun 1903. Pada tahun 1895, MEG Bartels yang saat itu berusia 24 tahun pindah ke Jawa untuk menghindari dinas militer di Jerman. Ia tertarik dengan binatang liar, khususnya burung.
MEG Bartels bekerja di Perkebunan Teh Pangrango, sekarang Resor Pasir Datar, Sukabumi. Berkat kegigihan kerjanya, pada tahun 1898, MEG Bartels diangkat menjadi manajer perkebunan.
Pada tanggal 19 Agustus 1901, MEG Bartels menikah dengan pelukis Belanda Angeline Cardine Henriette Maurenbrecher. Karya istrinya bahkan dipamerkan di Museum Sejarah Alam di Leiden.
Pernikahan mereka memberkati mereka dengan tiga orang anak: Dr. Max Bartels Jr. (1902-1943), Ernst Bartels (1904-1976) dan Hans Bartels (1906-1997).
Hobi MEG Bartel adalah mengoleksi spesimen hewan terutama aneka burung dan telurnya, Harimau Jawa, Macan Tutul, Tikus, Sapi, dll. Koleksi ini terdaftar sebagai koleksi keluarga Bartels dan kini disimpan di Museum Nasional Sejarah Alam (NMNH) di Leiden.
Berkat kegemarannya, beberapa nama burung, tikus, dan tupai teridentifikasi dari koleksinya. Oleh karena itu, nama Bartels, Max dan Angeline digunakan dalam nama latin hewan tersebut.
“Untuk menampung koleksinya, MEG Bartels membangun museum koleksi di Pasir Datar, Sukabumi, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,”; tulis Gunung Gede Pangrango seperti dikutip detikJabar.
Tingkat pendidikan MEG Bartel saat ini tidak diketahui. Namun, ia menerbitkan jurnal ilmiah di Jerman dan Belanda.
Tulisan ilmiahnya yang dinilai sangat berpengaruh terhadap perkembangan burung Jawa, seperti “Zur Ornis Javasandquot; (1901) yang memuat daftar 239 spesies asal Jawa Barat. Dari daftar spesies tersebut, Finsch mendeskripsikan Crithaga estherae Finsch, Caprimulgus bartelsi Finsch dan Syrnium bartelsi Finsch sebagai spesies baru.
Selain itu ada juga makalah “Zur Lebens- und Nistweise Javanisches Vogelandquot; (1903, 10 spesies dari Jawa Barat) dan “Systematische Übersicht meiner Java-Vogelandquot; (1906). Setidaknya selama 22 tahun, sejak 1901. 1923, MEG Bertels menulis 19 majalah ilmiah.
MEG Bartels meninggal pada tanggal 7 April 1936 dan dimakamkan di Pasir Datar sesuai wasiatnya kepada putra sulungnya Dr Max Bartels. Bartles dimakamkan di dekat museum dan pegunungan.
Baca Juga : Daftar Museum Nilai Sejarah di Jambi
Perjalanan Bartels Junior mengikuti jejak ayahnya
Dr. Max Bartels lahir di Pasir In Datar, Sukabumi sebagai anak pertama dari MEG Bartels. Dia dikenal telah menyukai berburu sejak kecil. Bartels junior mendapatkan pendidikan di Eropa dan pada Mei 1932 mendapatkan gelar Dr/PhD dari Bern Switzerland dalam bidang Zoology.
Dia menikah dengan seorang perempuan pribumi yang bernama Ipitsari A. Dari pernikahannya itu, dia mendapatkan seorang putri bernama Helma Victoar Bartels atau Iece Maryati yang kini tinggal di Sukabumi.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Dr. Max Bartels bergabung dengan Earns Bartels adiknya yang berkerja di perkebunan teh Tjiboeni di Gunung Patuha Bandung Jawa Barat. Dari tahun 1932 hingga 1937, Dr. Max Bartels banyak berkolaborasi dengan HJV Sody dan melakukan ekspedisi ke Gunung Ciremai, Gunung Lawu, serta Pananjung Pangandaran dan Nusakambangan. Selama ini, Dr. Max Bartels memproduseri serial Mamalia Pegunungan Jawa.
“Kolaborasi dengan Sody menghasilkan dua genera Rodentia, Maxsomys dan Kadarsanomys. Selain itu, pada tahun 1937, Dr. Max Bartels setelah mendeskripsikannya, juga menamai Rattus canus sodyi Bartels, salah satu spesies tikus yang hanya hidup di Gunung Gede Pangrango. Spesies tikus koleksi Max Bartels Sr,” lanjutnya.
Keluarga Bartels
Selain itu, Dr. Max Bartels dan Sody bekerja dengan Dr. Sampurno Kadarsaga dan menghasilkan keluarga tikus liar yang hidup di bambu Gunung Gede. Peringkat Pan sebagai genus dalam Kadarsanomys dan tipenya adalah Kadarsanomys sodio. Penelitian ini didasarkan pada koleksi tikus keluarga Bartels yang dikumpulkan dari Gunung Gede Pangrango.
Kolaborasi unik ini terjadi antara tiga ilmuwan dari latar belakang budaya berbeda, Dr. Max Bartels, keturunan Belanda-Jerman yang besar di Jawa. Kemudian Sody, orang Belanda yang besar di Belanda, dan Dr. Sampurno Kadarsan adalah orang Jawa dengan pendidikan Eropa.
Kadarsanomys Informasi tentang Sodya (spesies tikus) sangat terbatas. Tikus ini konon hanya hidup di Gunung Gede Pangrango, sehingga IUCN memasukkan jenis ini ke dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah.
Penelitian Bartel dihentikan selama Perang Dunia II
Kembalinya Dr. Max Bartel. Kemajuan Bartels Jr sempat terhenti ketika pecah Perang Dunia II dan melanda Indonesia. Pada tahun 1941, tentara Jepang mengunjungi rumahnya di Ciseureuh Sukabumi.
Kedatangan tentara Jepang pada sore hari sangatlah singkat. Keesokan paginya, Dr. Max Bartels meninggalkan rumah dengan kereta menuju penjara Cimah.
Sebelum dikirim ke Burma untuk membangun jalur kereta api, Max Bartels ditahan di kamp Tahanan Perang (POW) Cimahi di mana ia bertemu dengan Prof. dokter Rudolf (Rudy) Willem Becking. Rudi dikirim ke Burma oleh Dr. Max Bartels kecewa dan berharap dia tidak dikirim ke Burma. Max Bartels dikirim ke Burma.
.
Atas anjuran Dr. A Hoogerwerf, pasukan Jepang mengambil secara paksa seluruh koleksi keluarga Bartels untuk di pindahkan ke Museum Zoologi Bogor (MZB) dengan alasan bahwa koleksi itu sangat dibutuhkan untuk proses pembuatan tiga buku tentang telur burung-burung di Kebun Raya dan Burung-Burung Cibodas.